kerukunan antar umat beragama

0

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA 

Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama. Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak atau berdampak masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan pada umat seagama. Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak mengganggu ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda agama; dan lain-lain Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan kesehariannya, seringkali terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama. Melalui berbagai forum yang digelar dalam rangka untuk menjaga relasi harmonis antara elemen umat beragama, maka secara realistis akan dapat membentuk kerukunan antar umat beragama. Kenyataan secara empiris menunjukkan bahwa cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memberikan semangat dan dapat menjadi model bagi kerukunan umat beragama tentunya bukan hanya pepesan kosong. Hal ini sudah membumi. Oleh karena itu, koeksisteni harmonis yang telah terajut di dalam kehidupan masyarakat tentunya harus terus dipelihara. Jangan sampai keinginan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama atau lainnya dapat mengoyak kerukunan yang telah terbina. Kerukunan umat beragama hakikatnya merupakan inti pembangunan masyarakat. Melalui kerukunan umat beragama ini, maka segala hal yang terkait dengan pembangunan masyarakat akan dapat dilakukan. Secara empiris, bahwa masyarakat Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang sangat panjang dalam merenda kerukunan umat beragama. Modalitas sejarah ini tentunya harus dipertahankan di dalam kerangka untuk membangun masyarakat yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Pada era reformasi di mana kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi sedang menuai masa kejayaannya, maka jangan sampai hal tersebut akan menjadikan Indonesia terpecah atau tersegmentasi yang disebabkan oleh menguatnya kepentingan masing-masing kelompok. Islam moderat atau Islam yang menawarkan keselamatan bagi semua kiranya merupakan prototipe bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa yang akan datang. Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama Oleh : Prof. Dr. Nur Syam, MSi DI ERA keterbukaan dan demokratisasi seakan-akan orang bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan demokrasi dan keterbukaan itu. Banyak hal yang terjadi dan dengan gampangnya orang mengaitkannya dengan konsep itu. Orang bisa melakukan demonstrasi, orasi, menulis dan bahkan kekerasan dengan mengatasnamakan ekspressi keterbukaan, kebebasan dan demokrasi. Di antara yang juga menuai kebebasan adalah tumbuhkembangnya berbagai aliran keagamaan yang mencuat akhir-akhir ini. Betapa banyaknya aliran keagamaan yang muncul dan menuai masalah. Hampir setiap bulan diketahui muncul aliran baru yang muncul dan bertentangan dengan arus utama agama-agama lainnya. Meskipun agama baru itu mengadopsi hal-hal tertentu di dalam agama besarnya. Banyaknya aliran itu terkesan berada di dalam koridor Islam, misalnya. Namun demikian, sesungguhnya jauh di luar koridor Islam sesuai dengan teks dan penafsiran elit agama. Inilah tantangan masyarakat ini di tengah semakin semaraknya orang berbicara dan bertindak atas nama kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi. Ada sesuatu yang paradoks di era yang disebut sebagai keterbukaan dan demokratisasi. Bahkan melalui Hak Asasi Manusia (HAM) orang juga bisa melakukan apa saja dengan dalih sesuai dengan HAM. Di era reformasi ternyata ada dua arus yang bergerak cepat. Ada dua hal yang rasanya di masa lalu hanya menjadi hipotesis, ternyata sekarang menuai pembenarannya. Bahwa era keterbukaan, kebebasan dan demokrasi mengandung dua anak yang lahir hampir secara bersamaan dengan corak dan karakter yang sangat jauh berbeda. Dua anak itu adalah fundamentalisme dan lokalisme. Radikalisme secara sosiologis terjadi ketika masyarakat berada dalam situasi anomi atau kesenjangan antara nilai dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Kesenjangan tersebut dipicu oleh modernitas yang berkaitan dengan sekularisasi. Di saat tersebut masyarakat tidak lagi mampu untuk mengatasi kesenjangan karena ketiadaan kekuatan untuk melakukan perlawanan di dalam kesenjangan tersebut. Ketika kesenjangan menjadi semakin kentara, sementara nilai-nilai yang menjadi pegangan semakin tak mampu menjadi pengendali berbagai tindakan sosial, maka akan muncul gerakan radikalisme dalam coraknya yang laten atau manifes. Penyebaran Islam Indonesia adalah kawasan yang unik. Dalam sejarah penyebaran ajaran agama apapun hampir tidak dijumpai konflik yang sangat keras. Jika ada, sejauh yang bisa dibaca adalah kepentingan politik di antara elitnya. Penyebaran konsepsi Islam pun terus berlangsung. Dalam relasi antara Islam dan politik, sekurangnya dapat ditipologikan ke dalam beberapa hal, yang pertama, adalah corak hubungan antara Islam dan politik yang antagonistik. Di era awal Orde Baru corak hubungan tersebut sangat kentara. Dengan dibentuknya organ pemerintah, seperti Kopkamtib adalah sarana untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap aktivitas kegiatan keagamaan. Maka muncullah komando Jihad, Kasus Woyla, dan kasus Periuk yang menandai puncak dari relasi antara Islam dan negara yang antagonistik tersebut. Kedua, di fase berikutnya, corak hubungan antara Islam dan politik adalah saling mengkritisi, misalnya hubungan antara Gus Dur dengan Pak Harto. Gus Dur selaku penggerak demokrasi dan kebebasan harus berhadapn dengan kekuatan Orde Baru yang sangat otoriter. Melalui kekuasaannya, maka Gus Dur harus berjibaku untuk melakukan resistensi terhadap penetrasi negara yang sangat ambisius. Namun demikian, kekuatan para “pembangkang” ini pun luruh oleh zaman yang memang menghendaki perubahan-perubahan. Ketiga, adalah fase hubungan simbiotik, yaitu ketika Organisasi NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial, politik, dan kemasyarakatan lainnya. Maka relasi antara negara dan Islam menjadi saling membutuhkan. Dan akhirnya lahirlah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang merupakan puncak dari relasi yang saling membutuhkan tersebut. Di era inilah, maka terjadi proses Islamisasi birokrasi dan menandai proses penerimaan Islam dalam kehidupan politik dan kenegaraan. Sebagai kelanjutan dari proses Islamisasi tersebut, kemudian muncullah berbagai organisasi trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Inilah uniknya Indonesia itu. Berbagai macam aliran masuk dan tumbuh tanpa harus menimbulkan konflik yang kuat. Tumbuh suburnya gerakan Islam fundamental ini, sedikit atau banyak, telah merisaukan berbagai organisasi keagamaan dominan. Sejumlah kekhawatiran tersebut sesungguhnya dipicu oleh gerakan syariahisasi yang diusung oleh gerakan Islam fundamental, yang ternyata momot keinginan menerapkan Islam berdasar atas pola Islam Timur Tengah, khususnya Islam Wahabi. Aliran puritanistik seperti ini dikhawatirkan akan merusak Islam yang sudah mapan dengan pola Islam lokalitas atau Islam hasil adaptasi dengan berbagai elemen lokal dalam corak budaya yang khas. Namun demikian, di tengah nuansa keharmonisan antar berbagai komponnen tersebut bisa saja dalam suatu kesempatan akan muncul sektarianisme, sukuisme, agamaisme, dan etnisisme yang dapat merusak keharmonisan masyarakat yang telah terbina selama ini. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya mode keberagamaan yang cenderung ke arah “kanan”, melalui truth claimed yang berlebihan. Memang setiap agama memiliki klaim kebenaran yang tidak bisa ditawar, misalnya doktrin teologis dan ritual, namun dalam hal lain yang bercorak hubungan sosial, maka setiap agama mengandung doktrin agar saling menjaga keharmonisan dan kerekatan sosial.