Banjir lagi, Banjir Lagi
Prahara itu datang lagi. Hujan deras yang mengguyur kota Jakarta dan sekitarnya mulai dari 31 Januari 2008 sampai 1 Januari 2008 kembali menyebabkan bencana banjir yang praktis melumpuhkan segala aktivitas di ibu kota Indonesia ini. Penduduk setempat hanya bisa menghela napas melihat air yang menggenangi rumah mereka, jalan-jalan besar, hingga bandara internasional Soekarno Hatta. Air dengan cepat menggenangi beberapa jalanan utama ibukota, mulai dari MH Thamrin, Sudirman, RE Martadinata, DI Panjaitan hingga Gatot Subroto. Lalu lintas ibu kota mati total. Pohon-pohon bertumbangan, lampu lalu lintas pun mati dengan “manisnya.” Kemacetan yang sebenarnya sudah merupakan santapan sehari-hari warga Jakarta semakin menjadi-jadi di saat banjir seperti ini. Bus TransJakarta yang diharapkan sebagai alternatif demi menghindari kemacetan pun tidak bisa beroperasi. Kebanyakan dari bus-bus ini harus berhenti di depan terminal Sarinah dan mengakibatkan TransJakarta menderita kerugian ratusan juta rupiah. Sementara kereta api sebagai alternatif terakhir pun tidak bisa digunakan karena relnya sendiri sudah tertutup air.
Penduduk di daerah yang langganan banjir seperti kawasan Petamburan, Kelapa Gading, dan Kampung Melayu pun mengeluarkan keluh kesah mereka lewat radio dan televisi karena merasa Pemprov DKI lambat dalam melakukan usaha penyelamatan warga yang rumahnya terendam banjir dan pendistribusian makanan ke korban-korban banjir. Keadaan diperparah dengan dimatikannya 999 gardu listrik secara sengaja oleh PLN demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dan hal ini berujung pada kerugian milyaran rupiah bagi PLN. Sebagai bonus untuk melengkapi paket kombo ini, daerah penopang Jakarta, seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang pun turut terendam banjir.
Sumber: http://punyaelaine.wordpress.com/category/contoh-opini-publik/