UNDANG-UNDANG DAN KODE ETIK PERS

0

Di bawah ini adalah undang-undang dan kod etik pers

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Sumber: http://mighamir.wordpress.com/2010/03/29/kode-etik-jurnalistik-dan-undang-undang-pers/

SEJARAH JURNALISTIK DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

0

SEJARAH JURNALISTIK  DAN PERKEMBANGANNYA

Dalam perkembangan jurnalistik, terkait penentuan jurnalis pertama dan kapan kegiatan jurnalistik pertama dilakukan, para ahli senantiasa merujuk pada Romawi masa Julius Caesar (100-44 SM). Jules meneruskan tradisi raja-raja terdahulu untuk menyiarkan kabar mengenai keputusan senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Jules berpikir, walaupun kekuasaannya tanpa batas, ia harus mendapatkan inisiasi dari publik Roma.
Istilah Jurnalis
Sejak saat itu, dikenal istilah Jurnalis yang berasal dari kata diurnalis atau mereka yang menjadi juru tulis senat. Padahal, jika para ahli sains percaya adanya agama, perkembangan jurnalistik sudah ada pada masa sebelum Jules. Misalnya, catatan Eumenes, 363 SM. Ia telah membuat kisah orang-orang ternama masa itu, dari Alexander yang agung sampai Aristoteles. Lebih jauh lagi beribu tahun ke belakang adalah masa Nabi Nuh.
Konon, saat banjir besar menghantam bumi atau berakhirnya zaman es, riak jurnalistik sudah terbangun. Nabi Nuh AS membutuhkan kabar yang akurat dan faktual tentang kondisi daratan. Dikirimlah jurnalis dadakan, namun bisa dipercaya karena memiliki kemampuan “radar magnetis” dan otak kecil alat navigasi di hidungnya. Ya, burung merpati.
Si Merpati barangkali pangkatnya seorang reporter investigasi yang diminta mencari tahu kadar kesurutan air. Merpati terbang berkeliling hingga menemukan ranting zaitun yang menyebul di lautan. Ranting itu dipatuk, lantas dibawa sehingga Nabi Nuh mengetahui kabar akurat mengenai surutnya air.
China
Pada perkembangan selanjutnya, tradisi tulisan berlanjut di China. Surat kabar pertama pun lahir, King Pao. Surat kabar yang mengabarkan titah kaisar. Lantas, jurnalis tulis menulis sedikit surat di zaman kegelapan Eropa walaupun mendapat tempat manis di Asia. Pada masa itu, orang Eropa mengandalkan para penyair dari hall ke hall untuk mengabarkan kisah para raja dan pahlawan.
Perkembangan berarti berlangsung pada abad pertengahan. Yakni, hadirnya mesin cetak. Guttenberg (1450), dengan izin Tuhan, benar-benar merevolusi dunia. Kehadiran mesin cetak telah membawa jurnalisme ke titik 100 persen. Kemudian, lahir media massa pertama di Eropa yang tidak ditujukan untuk para raja semata. Yakni, Gazzeta di Venesia.
Sebagaimana umumnya kota Italia yang menganggap raja atau doge sebagai patron, kota dan para pengurusnya bersikap mandiri. Kemandirian informasi di Venesia inilah yang melahirkan Gazzeta.
Amerika
Di Amerika Utara, perkembangan pers mengikuti sejarah unik penjajahan Inggris pada dataran kolonialnya. Orang kolonial Amerika Utara itu, bahkan, memulihkan nama journalism sebagai kegiatan pencarian berita. Sementara di tanah Inggris sendiri, lahir Oxford Gazzete. Nama newspapper mulai digunakan menggantikan Gazzete yang berbau pizza Italia.
Pada masa awal revolusi Industri, masa Descartes usai mencerahkan Eropa dengan filsafat ilmunya, jurnalistik mulai dipandang sebagai ilmu baru di ranah sosial. Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel Swiss memperkenalkan cabang baru ilmu persuratkabaran, Zeitungkunde pada 1884.
Di Amerika Utara, lahirlah sekolah beken dalam urusan jurnalis, Columbia School of Journalism pada 1912 oleh Joseph Pulitzer. Pada abad ke-20, kepakaran dan profesi semakin mencair. Ilmu dan teori jurnalisme semakin berkembang, kode etik dilahirkan, teknik pemberitaan diperluas. Nama-nama harum, seperti Hunter S. Thompson, Hearst, atau Tom Wolfe, mengembangkan jurnalisme sebagai teknik dan konglomerasi.

 

SUMBER: http://forumwartawanindonesia.blogspot.com/2012/01/sejarah-jurnalistik-dan-perkembangannya.html

 

SEJARAH JURNALISME DI INDONESIA

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.

Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.

Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KP

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme